23.4 C
Magelang
Friday, 8 December 2023

Kisah Edi Londo, Keturunan Jawa-Belanda Ber-KTP Kota Magelang, Teman Mendiang Suzzanna

RADARSEMARANG.ID – Bisa dibilang, Edi Londo satu-satunya warga Indo yang tersisa di Kota Magelang. Ia  berkisah tentang kerasnya hidup sebagai warga Indo zaman dulu. Dikucilkan dan tak diakui oleh Belanda. Tapi masih diterima warga pribumi.

“Pak Edi awet muda ya? Seperti baru 60-70 tahunan,” ujar tamu undangan yang berbisik-bisik dengan teman sebelahnya ketika mendengarkan kisah Edi Londo.

Saat itu, Edi menceritakan kisahnya sebagai warga Indo ketika menghadiri pameran arsip dan foto bertajuk “Indo Magelang : Antara Memori dan Identitas” di gedung Loka Budaya Drs Soekimin Adiwiratmoko, Alun-alun Selatan, Selasa (1/2).

Ya, Edi memang tidak terlihat seperti kakek-kakek berusia 90 tahunan. Badannya segar. Jalannya lancar. Apalagi saat bercerita, tidak terbata-bata. Bahkan Edi mengaku tidak diserang buyuten. Sebuah istilah Jawa jika ada bagian tubuhnya—terutama tangan—bergerak-gerak tidak terkendali alias tremor.

Tak sampai di situ, pernyataan Edi juga mengundang tawa para tamu. Katanya, jika sudah tua, jangan merasa tua. Boleh merasa muda, tapi jangan bertingkah laku seperti anak muda.

Tapi rasanya kok penasaran. Mengapa Edi bisa dipanggil Edi Londo? Dirinya pun membeberkan nama aslinya, Eduward Sumardi. Nama itu kemudian disingkat menjadi Edi. Sedangkan Londo, karena ia keturunan Belanda. Orang Jawa menjuluki orang Belanda dengan sebutan Londo.

Oh ya, nama belakangnya itu mirip dengan sang ayah, Martinus Sumardiman. Pria pribumi yang jatuh cinta kepada noni Belanda yang merupakan ibunya, Elisabet Annie Van Hattum.

Kisah asmara sang ayah dan sang ibu pun diceritakan. Dulu, sang ayah kerap cukur rambut di daerah sekitar ibunya tinggal, di Kampung Gejuron. Keduanya saling mencintai. Sang nenek memberikan restu kepada ayahnya mempersunting noni Belanda. Asalkan setelah menikah ikut keluarganya. Secara terang-terangan, ia mengaku sebagai anak dari penjajah. Sebab, pada waktu itu, Belanda sedang menjajah Indonesia.“Jadi Belanda totok, dapat Jawa totok,” ungkapnya.

Pernikahan orang tuanya itu karuniai tiga orang anak. Kedua adiknya meninggal. Edi adalah anak sulung, kelahiran 1931. Ia mengungkap, ibunya kemudian dikucilkan oleh warga Belanda karena menikah dengan warga pribumi.

“(Anggapan Belanda, Red) Sepertinya, martabatnya orang Jawa itu lebih rendah dari orang Belanda,” ungkap Edi mengapa ibunya kemudian tidak diakui sebagai warga Belanda lagi.

Beruntungnya, ia diasuh oleh sang nenek dari keluarga ayah. Ia menyebutnya Mbah Jowo (nenek Jawa). Karena itu, ia masih bisa bermain dengan anak-anak kampung. “Tapi malah tidak pernah bermain dengan anak-anak Belanda,” akunya.

Diskriminasi itu memang sangat kental dirasakan. Tidak boleh bergaul lagi dengan warga Belanda. Tapi namanya kehidupan, terus berlanjut. Bahkan Edi tidak pernah pindah dari rumahnya yang sampai saat ini ditinggalinya, di Jalan Pahlawan. Sekalipun rumah itu menyimpan memori-memori masa lampau.

Sementara beberapa warga Indo lainnya, sudah banyak yang pindah. Hanya tersisa beberapa di Kota Magelang, tapi sudah meninggal. Tinggal dirinya. Teman-teman Indo yang masih diingatnya adalah mendiang Suzzanna Martha Frederika van Osch atau populer dengan nama Suzzanna, bintang film horor Indonesia.

Dia melanjutkan cerita, dulu saat Belanda kalah dari Jepang, semua orang Belanda dikumpulkan di Muntilan oleh Jepang. Kemudian diusir dari Indonesia. “Sebagian memang ada yang pulang ke Belanda, tapi keluarga ibu saya nggak mau. Memilih evakuasi ke Kanada. Sampai sekarang keluarga di Kanada,” ujarnya.

Menurutnya, banyak kisah menarik warga Indo di Kota Magelang. Dirinya pun mengapresiasi sejarawan muda, Tedy Harnawan asal Magelang yang mengangkat cerita tentang orang-orang Indo di Kota Magelang pada akhir masa kolonial, yang kemudian ditulis dalam sebuah buku berjudul “Dalam Bayang-bayang Modernitas”.

Peluncuran buku itu pun dibarengi pameran foto dan arsip bertajuk “Indo Magelang : Antara Memori dan Identitas”. Melalui pameran ini, Edi berharap, generasi muda mengetahui sisi lain sejarah Kota Magelang ketika dijajah Belanda.  “Kalau nggak ada pameran seperti ini, anak muda tidak kenal. Sekarang menjadi kenal. Itu sejarah yang perlu diketahui oleh masyarakat bahwa kita pernah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda,” katanya. (put/aro)

 

Reporter:
Puput

RADARSEMARANG.ID – Bisa dibilang, Edi Londo satu-satunya warga Indo yang tersisa di Kota Magelang. Ia  berkisah tentang kerasnya hidup sebagai warga Indo zaman dulu. Dikucilkan dan tak diakui oleh Belanda. Tapi masih diterima warga pribumi.

“Pak Edi awet muda ya? Seperti baru 60-70 tahunan,” ujar tamu undangan yang berbisik-bisik dengan teman sebelahnya ketika mendengarkan kisah Edi Londo.

Saat itu, Edi menceritakan kisahnya sebagai warga Indo ketika menghadiri pameran arsip dan foto bertajuk “Indo Magelang : Antara Memori dan Identitas” di gedung Loka Budaya Drs Soekimin Adiwiratmoko, Alun-alun Selatan, Selasa (1/2).

Ya, Edi memang tidak terlihat seperti kakek-kakek berusia 90 tahunan. Badannya segar. Jalannya lancar. Apalagi saat bercerita, tidak terbata-bata. Bahkan Edi mengaku tidak diserang buyuten. Sebuah istilah Jawa jika ada bagian tubuhnya—terutama tangan—bergerak-gerak tidak terkendali alias tremor.

Tak sampai di situ, pernyataan Edi juga mengundang tawa para tamu. Katanya, jika sudah tua, jangan merasa tua. Boleh merasa muda, tapi jangan bertingkah laku seperti anak muda.

Tapi rasanya kok penasaran. Mengapa Edi bisa dipanggil Edi Londo? Dirinya pun membeberkan nama aslinya, Eduward Sumardi. Nama itu kemudian disingkat menjadi Edi. Sedangkan Londo, karena ia keturunan Belanda. Orang Jawa menjuluki orang Belanda dengan sebutan Londo.

Oh ya, nama belakangnya itu mirip dengan sang ayah, Martinus Sumardiman. Pria pribumi yang jatuh cinta kepada noni Belanda yang merupakan ibunya, Elisabet Annie Van Hattum.

Kisah asmara sang ayah dan sang ibu pun diceritakan. Dulu, sang ayah kerap cukur rambut di daerah sekitar ibunya tinggal, di Kampung Gejuron. Keduanya saling mencintai. Sang nenek memberikan restu kepada ayahnya mempersunting noni Belanda. Asalkan setelah menikah ikut keluarganya. Secara terang-terangan, ia mengaku sebagai anak dari penjajah. Sebab, pada waktu itu, Belanda sedang menjajah Indonesia.“Jadi Belanda totok, dapat Jawa totok,” ungkapnya.

Pernikahan orang tuanya itu karuniai tiga orang anak. Kedua adiknya meninggal. Edi adalah anak sulung, kelahiran 1931. Ia mengungkap, ibunya kemudian dikucilkan oleh warga Belanda karena menikah dengan warga pribumi.

“(Anggapan Belanda, Red) Sepertinya, martabatnya orang Jawa itu lebih rendah dari orang Belanda,” ungkap Edi mengapa ibunya kemudian tidak diakui sebagai warga Belanda lagi.

Beruntungnya, ia diasuh oleh sang nenek dari keluarga ayah. Ia menyebutnya Mbah Jowo (nenek Jawa). Karena itu, ia masih bisa bermain dengan anak-anak kampung. “Tapi malah tidak pernah bermain dengan anak-anak Belanda,” akunya.

Diskriminasi itu memang sangat kental dirasakan. Tidak boleh bergaul lagi dengan warga Belanda. Tapi namanya kehidupan, terus berlanjut. Bahkan Edi tidak pernah pindah dari rumahnya yang sampai saat ini ditinggalinya, di Jalan Pahlawan. Sekalipun rumah itu menyimpan memori-memori masa lampau.

Sementara beberapa warga Indo lainnya, sudah banyak yang pindah. Hanya tersisa beberapa di Kota Magelang, tapi sudah meninggal. Tinggal dirinya. Teman-teman Indo yang masih diingatnya adalah mendiang Suzzanna Martha Frederika van Osch atau populer dengan nama Suzzanna, bintang film horor Indonesia.

Dia melanjutkan cerita, dulu saat Belanda kalah dari Jepang, semua orang Belanda dikumpulkan di Muntilan oleh Jepang. Kemudian diusir dari Indonesia. “Sebagian memang ada yang pulang ke Belanda, tapi keluarga ibu saya nggak mau. Memilih evakuasi ke Kanada. Sampai sekarang keluarga di Kanada,” ujarnya.

Menurutnya, banyak kisah menarik warga Indo di Kota Magelang. Dirinya pun mengapresiasi sejarawan muda, Tedy Harnawan asal Magelang yang mengangkat cerita tentang orang-orang Indo di Kota Magelang pada akhir masa kolonial, yang kemudian ditulis dalam sebuah buku berjudul “Dalam Bayang-bayang Modernitas”.

Peluncuran buku itu pun dibarengi pameran foto dan arsip bertajuk “Indo Magelang : Antara Memori dan Identitas”. Melalui pameran ini, Edi berharap, generasi muda mengetahui sisi lain sejarah Kota Magelang ketika dijajah Belanda.  “Kalau nggak ada pameran seperti ini, anak muda tidak kenal. Sekarang menjadi kenal. Itu sejarah yang perlu diketahui oleh masyarakat bahwa kita pernah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda,” katanya. (put/aro)

 

Reporter:
Puput

Artikel Terkait

POPULER

TERBARU

Enable Notifications OK No thanks